. Realisasi penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) per Februari 2024 mencapai Simbol Rupiah 39,5 triliun, mengalami penurunan sebesar 6,6% jika dibandingkan periode yang tersebut sejenis pada tahun sebelumnya.
Penurunan ini sejalan dengan tren tahun sebelumnya di mana penerimaan CHT tahun 2023 turun 2,4% dibandingkan tahun 2022.
Penurunan yang dimaksud disebabkan oleh peralihan konsumsi rokok dari golongan tertinggi ke golongan yang lebih banyak murah. Hal ini dapat berlanjut tanpa adanya inovasi pada susunan tarif cukai yang mana menyebabkan nilai tukar rokok antar golongan berbeda jarak jauh pada pasaran.
Kepala Laboratorium Kondisi Keuangan Departemen Kondisi Keuangan serta Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM), Kun Haribowo, mengingatkan pemerintah untuk tidaklah tergesa-gesa mengklaim penurunan penerimaan cukai sebagai keberhasilan mengempiskan dampak negatif rokok.
Ia menekankan perlunya mempertimbangkan variabel lain, seperti data konsumsi rokok harian yang dimaksud terus stabil, yakni 12 batang per hari dari tahun 2022 hingga 2023.
Berdasarkan data tersebut, Kun menyimpulkan bahwa meskipun penerimaan CHT menurun, konsumsi rokok kekal tinggi.
“Artinya, cukai rokok ketika ini tidak ada efektif sebagai instrumen penerimaan negara (fungsi budgetair) maupun untuk menurunkan jumlah keseluruhan perokok (fungsi regulerend). pemilihan pun tiada cukup untuk meningkatkan penerimaan cukai rokok, dalam mana pada periode sebelumnya pilpres biasanya meningkatkan penerimaan cukai rokok secara signifikan,” jelasnya pada keterangannya seperti disitir hari terakhir pekan (31/5).
Kun menambahkan bahwa tren peralihan konsumsi ke rokok terjangkau telah lama berlangsung beberapa tahun lalu seharusnya sudah ada diantisipasi oleh pemerintah dengan solusi yang mana tepat.
Saat ini, intervensi kebijakan untuk menghentikan fenomena downtrading belum direalisasikan sebab penurunan penerimaan CHT masih dianggap sebagai keberhasilan mengatasi eksternalitas.
Penurunan penerimaan CHT sebenarnya merupakan dampak dari susunan kebijakan tarif cukai ketika ini yang tersebut memungkinkan pabrikan rokok mengatur strategi usaha dia untuk memanfaatkan tarif cukai yang digunakan tambahan rendah di berubah-ubah kategori rokok.
“Fenomena ini menunjukkan bahwa kebijakan tarif rokok ketika ini kurang optimal, baik sebagai instrumen untuk menurunkan jumlah agregat perokok maupun untuk meningkatkan penerimaan negara,” katanya.
Kun menjelaskan bahwa untuk menciptakan tarif yang ideal, diperlukan direalisasikan analisis mendalam.
“Untuk mengoptimalkan penerimaan CHT juga menghurangi konsumsi rokok, perlu diwujudkan reformulasi atau inovasi susunan tarif cukai rokok pada Indonesia. Cukai rokok yang digunakan tepat harus mampu meningkatkan penerimaan negara sekaligus menurunkan jumlah agregat perokok di dalam Indonesia,” terangnya.
Chief Executive Officer Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Anton Rizki Sulaiman, menambahkan bahwa pro serta kontra terkait kebijakan tembakau terus bergulir.
Kebijakan tembakau dipandang dari sisi kontribusinya terhadap penerimaan CHT lalu penciptaan lapangan kerja, dan juga fungsi cukai sebagai pengendalian eksternalitas produk-produk tembakau. Hal ini penting dikaji lebih lanjut lanjut untuk mengoptimalkan CHT sebagai instrumen pengendalian tembakau.
“CIPS merekomendasikan terhadap Kementerian Keuangan agar mengkaji dampak kenaikan nilai tukar dan juga tarif terhadap prevalensi merokok dan juga tingkat perdagangan produk-produk tembakau ilegal yang tersebut tambahan hemat dan juga berbahaya,” ujarnya.
Artikel ini disadur dari Belum Efektif, Pemerintah Perlu Kaji Ulang Struktur Tarif Cukai Rokok